Selasa, 17 Januari 2012

Ternyata Saburai Tak Ada Hubungannya dengan Samurai

Salah satu kata yang sering saya dengar di sini adalah ”Saburai”. Sebuah lapangan luas semacam alun-alun kota yang sering digunakan untuk penyelenggarakan bermacam acara dinamakan Lapangan Saburai. Sudah hampir dua tahun saya di kota ini saya masih belum tahu apa sebenarnya Saburai itu. Wisnu teman saya, yang hampir satu tahun di kota ini, bilang bahwa Saburai itu singkatan dari Sai Bumi Ruwa Jurai. Namun, ia juga masih belum tahu apa arti sebenarnya dari frasa Sai Bhumi Ruwa Jurai. Akhirnya, meskipun belum tahu apa artinya, saya resmi meninggalkan spekulasi bahwa Lampung ini ada hubungan istimewa dengan samurai Jepang.

Teman saya yang lahir dan besar di Lampung tanpa diminta menjelaskan bahwa arti dari Sai Bumi Ruwa Jurai adalah Satu Bumi Dua Jurai. Bumi ya artinya bumi. Sedangkan jurai dapat berarti golongan atau suku. Kata temanku yang cantik itu (hueks:p) yang dimaksud dengan dua jurai adalah dua suku utama yang asli Lampung. Pertama, biasa disebut Pepadun. Suku Lampung Pepadun adalah orang-orang asli yang mendiami wilayah Lampung pedalaman (atau agak ke dalam). Yang kedua adalah yang biasa disebut Lampung Sai Batin. Sai Batin adalah orang-orang asli yang mendiami wilayah pinggiran atau pesisir Lampung.

Di lain pihak, ternyata Wisnu juga mencari tahu mengenai istilah Saburai. Saat Wisnu hendak menjelaskan kepada saya arti dari Saburai, namun saya dengan sigap mendahuluinya dengan presentasi singkat hasil penjelasan teman saya di atas. Ternyata, informasi yang didapatkan Wisnu sedikit berbeda. Berdasarkan sumber Wisnu, yang dimaksud dengan dua jurai adalah golongan asli Lampung dan golongan pendatang. Sebagaimana kita ketahui Lampung merupakan salah satu daerah tujuan transmigrasi. Banyak sekali pendatang di sini, terutama yang berasal dari Jawa. Jadi jangan heran kalau sobat datang ke Lampung mendengar percakapan sehari-hari dalam bahasa Jawa. Dan uniknya lagi (menurut saya) orang Lampung asli banyak yang pandai berbahasa Jawa, namun sayangnya jarang sekali ada pendatang Jawa yang pandai berbahasa Lampung. Dan saya sendiri, hampir dua tahun di sini rasanya lebih banyak mendengar bahasa Jawa dibanding bahasa Lampung. Ah, wat wat gawoh.

(Ini hanyalah sekedar cerita pencarian saya dengan metode mulut ke mulut. Jika ingin menelusuri catatan tertulis silakan lihat di sini dan sini. Lebih lengkap lagi di sana dan sana)  

Senin, 16 Januari 2012

Karena Kita Merasakan Hal yang Sama

Tadi malam, maksud saya beberapa jam lalu, berbincang-bincanglah kita mengenai hal-hal yang dapat diperbincangkan. Entah dari mana, muncullah topik mengenai makhluk KW yang biasa disebut bencong. Apakah istilah bencong masih lazim digunakan saat ini? Tak apa, saya pakai saja istilah itu, bencong. Sumpah, saya tak bermaksud merendahkan sama sekali karena saya yakin pastilah saya yang lebih rendah, boleh kita ukur pakai meteran.

Wanita itu mengungkapkan perasaannya. Dia merasa heran kenapa para lelaki yang ia ketahui sangat takut terhadap bencong. Waktu kuliah dulu, katanya, jika berjalan berombongan dengan para lelaki kebetulan akan berpapasan dengan sekelompok bencong, pastilah para lelaki itu bertingkah aneh. Para lelaki itu tampak seperti ketakutan, malah terkesan minta dilindungi oleh para wanita. Intinya, para lelaki berusaha menjauh dari jangkauan para bencong.

Saya, yang juga memilih menjauh dari jangkauan para bencong jika seandainya berpapasan, agak bingung bagaimana cara menjelaskan fenomena di atas. Teman saya yang lebih bijak dari saya mencoba menjelaskan dengan perumpamaan.

Teman saya bertanya pada wanita yang bertanya,"Bayangkan, apa yang kamu rasakan jika seandainya ada seorang lelaki tak dikenal tiba-tiba datang menghampirimu. Kemudian dia menggodamu, lantas tangannya mencolek-colek serta menggerayangi tubuhmu?"

Sang wanita hanya menjawab dengan ekspresi wajahnya serta bersuara,"Hiiiiii...."

"Nah, kami para lelaki pun merasakan hal yang sama." Sungguh jawaban yang tak terbayangkan oleh saya sebelumnya.

 

Maaf saya hanya ingin menulis. Semua bahan bermutu yang ingin saya tuliskan sudah menguap entah ke mana. Seharusnya saya tak membuka FB menggunakan notebook. Akibatnya saya jadi susah tidur. Semoga dengan selesainya saya mengunggah tulisan ini, saya bisa langsung tertidur. Dan saya memilih untuk menutup mata dengan tersenyum. Jangan lupa berdoa ya, dan juga doakan saya.:)


ps: ini diambil dari catatan yang saya tulis di FB note saya

Senin, 02 Januari 2012

Kisah Lelah di Akhir Tahun, Bagian 2: Demi Kau dan Si Buah Hati

Untuk apa sobat bekerja? Menurut salah seorang temanku, yang rela bekerja di sebuah kandang di desa terpencil di tengah hutan yang akses jalan masuknya seperti jalan yang baru saja dibom tentara Jepang, adalah "demi kau dan si buah hati". "kau" yang ia maksudkan tentu adalah istrinya, bukan istri tetangga. 

Temanku itu, sebut saja namanya Joni, seringkali merasa tak enak hati manakala mendapat makanan enak di kantor. Yang membuat tak enak hati adalah karena ia teringat anak-anaknya di rumah, entah makan apa mereka di rumah. Begitulah sayangnya ia pada anak-anaknya. Rasa bersalah karena makan enak di kantor tanpa bagi-bagi dengan anak-anak di rumah biasanya ia tebus dengan membelikan makanan --entah martabak, atau sekedar gorengan-- sebagai oleh-oleh. 

Saya yang belum punya anak, bahkan calon ibunya anak-anak pun belum punya, tentu saja belum bisa merasakan langsung kondisi Mang Joni. Saya hanya tersenyum, manggut-manggut sambil ngelus janggut.  

Suatu ketika Mang Joni bercerita, bahwa ibunya yang di kampung tiba-tiba menelepon. Ibunya bertanya apakah ia menyayangi anak-anaknya. Mang Joni pun mengungkapkan pada ibunya betapa ia sayang pada anak-anaknya, bahkan saat jam kerja pun sering teringat anak di rumah. Kemudian ibunya Mang Joni berkata,"Begitu juga Emak, Emak pun sangat menyayangi anak Emak. Emak kangen, tapi kok anak Emak ga nelpon Emak ya?"  

Saya pun tersadar, saya memang belum punya anak, tetapi walau bagaimanapun saya adalah anak dari seorang ibu. Saya juga tak ingin kalau nanti anak-anak saya kurang ajar pada ibunya. 

Rencana liburan ke pantai Kiluan pun, akhirnya saya batalkan. Jatah cuti tahunan jauh lebih baik saya pakai untuk pulang ke rumah ke Bangka. Saya ingin melihat langsung ibu saya yang kondisinya sedang sakit. Saya memang bukan dokter yang paham tentang macam-macam penyakit beserta cara penyembuhannya. Namun, rawat jalan di Fakultas Psikologi selama 5 tahun, memberi sedikit pengetahuan tentang apa yang harus saya lakukan terhadap ibu saya. Salah satu yang termudah untuk dilakukan adalah mengantar ibu ke puskemas. Ibu tentu senang didampingi anaknya yang terganteng sejagad sapu untuk periksa ke dokter di puskesmas. Dan anaknya ini bisa sekalian ngecengin dokter yang memeriksa ibunya, ups:D

Saya hanya 4 malam di rumah (24-28 Des). Memang sempat disayangkan oleh orang tua, kenapa saya harus cepat-cepat pulang, toh sekembalinya ke Lampung hanya masuk kerja 2 hari kemudian libur lagi akhir pekan sekaligus akhir tahun. Saya tak mungkin mengulur waktu cuti, meski ada sedikit sesal. Sebagaimana Takezo, yang setelah mengubah namanya menjadi Mushashi tak pernah menyesali keputusan apa pun yang sudah diambil, begitu pula saya tak mau menyesal berlarut-larut dan mengubah keputusan.

Selalu ada hikmah di balik setiap peristiwa yang awalnya tidak kita sukai. Saya pun menerima "kesalahan" saya yang mangambil cuti tanggung. Saya hanya bersiap diri menjalani konsekuensi apa yang akan saya terima. Ternyata konsekuensinya adalah saya akan menghabiskan akhir pekan sekaligus akhir tahun bersama seorang teman menjelajahi kota Bandar Lampung bertualang lidah dan mencari objek foto.

bersambung....

 

  

Kisah Lelah di Akhir Tahun: Bagian 1

Apa yang sobat rasakan menjelang berakhirnya tahun 2011? Terus terang saya merasakan kelelahan. Tiga bulan di akhir tahun dihadapkan dengan jadwal yang begitu padat. Training sepanjang hari sampai meeting sampai tengah malam. Saya yakin saya menjalaninya dengan senang dan bersemangat, senyum ceria dan canda tawa. Namun, saya tak bisa memungkiri bahwa tubuh saya kelelahan.

Di bulan Desember, sembari menunggu kesempatan cuti, saya berusaha memanfaatkan benar celah-celah waktu di akhir pekan. Meski saya harus mengorbankan sabtu siang yang seharusnya libur, jadwal sore-malam mingguan sedikit pun tak boleh diganggu. Latihan Aikido menjadi menu wajib, dilanjutkan futsal sampai tengah malam (kadang-kadang futsal saya lewatkan demi memperpanjang kencan dengan Aikido:D). Yup, dibanting-banting dan meringis keenakan karena dijepit dan dikunci di dojo, berlanjut lari-lari kesana-kemari tendang kaki orang, ups, bola di lapangan futsal. Menyenangkan? Awalnya iya. Malamnya dalam tidur saya bermimpi memikirkan pekerjaan, lalu terbangun dengan kondisi kepala yang rasanya mau pecah. Saya tidur dengan kepala bersujud, pan*at nungging, komat-kamit istighfar. Alhamdulillah, saya masih ingat untuk istighfar. Akhir pekan berakhir dengan tepar di atas ranjang:D

Akhirnya pekan ke-2 terakhir di 2011 mendekat, yang berarti tingkat kesibukan mencapai puncak, lalu menurun. Anehnya kesibukan saya bertambah. Selain mengejar penyelesaian kerjaan kantor, ditambah sibuk cari-cari info dan teman untuk liburan. Saya pun menjadi semakin sadar, bahwa tubuh ini punya hak istirahat dan berlibur. Bukan cuma sepatu wanita yang punya hak, (lho).

Sabtu, 04 Juni 2011

Strange Foreign Beauty


Akhir-akhir ini saya sedang belajar suatu hal, “say yes to every chance, every challenge”. Salah satu praktiknya adalah “impulsive traveling”. Tidak perlu bingung tentang benar tidak atau tepat tidaknya istilah yang saya gunakan, anggap saja saya seorang autis yang berbahasa dan beristilah dengan kamus saya sendiri. Anda mau mengartikannya lain, no risk.

Impulsive traveling yang saya lakukan adalah berlibur ke Pulau Sebesi. Awalnya saya sudah lupa, entah teman saya yang lebih dulu mengajak ikut ataukah saya yang menawarkan untuk diajak. Yang jelas, dari 3 orang yang punya inisiatif, hanya satu yang sudah saya kenal. Dari trio tersebut berkembanglah tim jalan-jalan ini menjadi sebuah kesebelasan dengan 1 orang paling banyak hanya mengenal  4 orang. Menarik ya? Kaya MLM aje, hihihi7

Dengan prinsip kenekatan “say yes to every chance, every challenge”, tentu saya tidak melewatkan kesempatan yang (masih) teramat jarang ini. Well, air, pantai, laut, backpacking, hiking, gunung, bukit begitu kuat menarik Saya keluar sejenak dari kungkungan sebuah kandang di tengah hutan. Perjalanan hampir 3 jam melewati lubang-lubang di timur gerbang Andalas dengan bus tua yang hidup segan mati tak mau. Seperempat jam menggeber BMW (bebek merah warnanya) butut yang sudak mulai batuk-batuk menuju gathering point tim Andalas di wilayah kota satelit, yang membonceng jadi hilang ingatan soal jalan pulang. Dilanjutkan 2 jam yang lumayan lebih nyaman menuju Ujung selatan Andalas, menumpang Alphard Perlu Vitamin (APV). Akhirnya trio kwek kwek tiba pada tengah malam di pinggir “jembatan” yang menghubungkan tanah emas (swarna dwipa) dengan tanah beras (jawa dwipa). Di pinggir itulah kami tegambui hingga matahari terbit. Dan saya hanya bisa terlelap kurang dari 1 jam saja.

Setelah laporan pagi menghadap Sang Khalik, meleburlah trio kwek kwek dari Ujung Selatan Andalas, dynamic duo dari tanah Betawi, dan Manusia 6 jiga dari Parijs van Java, menjadi sebuah kesebelasan, setelah saling kenal-memperkenalkan, berangkatlah kami menuju dermaga Canti dengan angkot carteran seharga 150 ribu rupiah sekali angkut. Selama 1 jam kami dibawa menembus jalan utama gerbang masuk Sumatera yang masih berkabut. Berbelok ke wilayah Your River yang lebih dikenal dengan sebutan Kalianda, disambut udara pesisir yang menyebar bau amis ikan yang entah kenapa mengingatkan perut untuk teriak meminta jatah makan pagi.

Ada tiga rombongan menuju Sebesi hari itu, yang mendadak membuat ramai dermaga Canti yang ukurannya boleh dibilang imut. Warung nasi yang hanya satu tentu tidak cukup untuk melayani puluhan perut-perut yang keroncongan. Bekal roti sangat menolong untuk mendiamkan perut dari demonstrasi. Untuk berganti pakaian, cuci muka, hajat besar maupun kecil disediakan tempat yang meskipun tidak besar tetapi tidak perlu melibatkan hidung untuk menemukannya. Bersih, tapi juga tetap harus antri. Kami harus berganti pakaian dan sarapan di dermaga karena akan langsung menuju titik snorkeling di sekitar pulau Sebuku Kecil.  Selesai urusan berganti pakaian, mengisi dan mengeluarkan isi perut, maka perjalanan pun berlanjut.

Cuaca mendung dan sempat turun rintik-rintik hujan mengiringi setengah perjalanan Canti – Pulau Sebuku. Syukurnya mendekati Sebuku Kecil cuaca menjadi cerah. Titik pertama snorkeling terletak di pantai pulau Sebuku Kecil. Sesuai namanya, Pulau ini hanya sebuku dan kecil:D. pasirnya putih dengan hamparan sisa-sisa kerang dan karang. Tak ada tanda-tanda adanya penghuni tetap di Pulau kecil ini. Letak rumpun karangnya hanya berjarak sekitar 5 meter dari garis pantai, masih terhitung dangkal, serta arus yang tidak kuat. Ikan-ikan kecil berwarna-warni berenang bebas berkeliaran di rumpun-rumpun karang.

Setelah menghabiskan waktu sekitar satu jam, kami kembali berlayar menuju Pulau Sebesi. Di Pulau inilah tempat kami berteduh, makan-minum, dan bermalam. Tersedia beberapa wisma dengan ukuran fasilitas sesuai paket yang kita ambil, begitu pula menu makanannya. Listrik hanya tersedia malam hari.

Setelah makan siang, perahu angkat sauh membawa kami menuju 3 titik snorkeling. Titik pertama di Pulau Umang, rumpun karang berjarak sekitar 10 – 15 meter dari pulau. Di sini tempat terbaik yang saya lihat. Titik ke-2 dan ke-3 letaknya lebih ke tengah. Di titik ke-2 saya tidak bisa menikmati indahnya pemandangan karang di bawah air. Mungkin karena lumayan dalam, sehingga mata saya yang sudah minus tidak bisa melihat dengan jelas. Oleh karena itu, di titik ke-3 saya memutuskan tidak turun, karena lautnya lebih ke tengah juga lebih dalam. Meskipun di titik ke-3 ini arusnya sangat kuat, teman saya yang turun snorkeling mengatakan bahwa di titik inilah pemandangan karang yang paling bagus dibanding titik-titik sebelumnya. Bah, saya tutup telinga saja, hahaha…

Hari ke-2 saatnya mendaki Anak Krakatau. Perahu angkat sauh setelah subuh. Kami berharap di perjalanan dapat menjumpai pemandangan matahari terbit, sayang sekali terhalang kabut dan awan mendung. Perjalanan Sebesi – Anak Krakatau cukup lama, sekitar 1,5 jam. Gelombang cukup tinggi menggoyang menghempaskan perahu, sehingga tidak bisa berdiri tegak sama sekali. Perjalanan yang cukup lama, hempasan gelombang yang kuat, cuaca yang masih belum panas, serta angin yang mendesir, tampaknya membuat seluruh anggota kesebelasan tertidur lelap. Saya yang tak lagi bisa tidur akhirnya jadi penjaga gawang, haha7. Pose mereka-mereka yang terlelap menjadi objek foto yang tak mungkin saya lewatkan.

Anak Krakatau dari kejauhan tampak menyambut kami dengan semburan awan coklatnya. Kami pun merapat di pinggir pulau dengan pasir pantainya yang hitam kecoklatan. Beberapa petugas penjaga Anak Krakatau menyambut kami, lalu mempersilakan kami untuk mengisi buku kunjungan. Sebelum mendaki, kami menyantap sarapan yang sudah disediakan. Di “teras” Anak Krakatau kita bisa membaca sejarah letusan Krakatau hingga terbentuknya pulau di sekitarnya di beberapa papan.

Ada dua puncak Anak Krakatau, yang biasanya didaki adalah puncak pertama yang lebih rendah dari puncak kedua. Di puncak ini kita bisa melihat pulau-pulau kecil “saudara” Anak Krakatau. Puncak Krakatau terdiri dari pasir coklat, hamparan belerang kuning oranye, serta batu-batuan, mirip gurun pasir kecil. Menuruni jauh lebih mudah dari pada mendaki. Kami mendaki ditemani kicauan burung-burung. Kami turun disambut dua ekor biawak. Begitu kami angkat sauh meninggalkan Anak Krakatau, ia pun melambaikan salam dengan menyemburkan awan coklatnya yang lebih pekat.

Demikianlah petualangan dua hari saya bersama kesebelasan impulsive. Mengasingkan diri sejenak dari kesibukan sehari-hari. Aroma laut dan dermaga mengalihkan aroma letong dan kencing mamalia. Mengambang di air menyaksikan makhluk-makhluk kecil berkeliaran menjelajah karang, membuat lupa pemandangan makhluk-makhluk kecil berkaki empat melompat-lompat di dalam kandang. Melihat biru yang cantik, hijau yang tentram, deru angin yang membebaskan, riak gelombang yang menggirangkan hati.

Demikianlah cerita saya yang mempraktikkan prinsip nekat belajar nekat,”say yes to every chance, every challenge”. Saya rasa semua anggota kesebelasan terheran-heran bagaimana bisa kami yang sebelumnya banyak yang belum saling mengenal tiba-tiba melakukan perjalanan bersama. Saya juga sedikit heran, tapi saya memilih untuk menikmatinya saja, toh ternyata menyenangkan. Ada yang mengatakan kelakuan kami ini rada strange. Betul, juga indah.

Sekarang saya menantikan perjalanan kami yang berikutnya. Tidak sekarang, harus menunggu paling cepat bulan depan. Ini menyadarkan saya akan prinsip lain yang harus dipelajari, yaitu” sabar belajar bersabar”. Sampai jumpa di perjalanan (hidup) selanjutnya.

Senin, 11 April 2011

Nafsu Besar, Tenaga Kurang

Jadi, apa ya yang mau saya tulis di sini. Sungguh, tadi setelah membaca tulisan-tulisan dari orang-orang yang saya kagumi, --baik yang saya kenal langsung maupun hanya saya kenal tulisannya saja-- begitu meletup-letup semangat saya untuk menulis. Menulis apa? Apa ya?

Perkataan klise mengatakan,"nafsu besar, tenaga kurang". Mungkin demikianlah keadaan saya sekarang. Begitu bernafsu untuk menulis. Banyak ide-ide berkelebatan di dalam kepala. Tapi apa daya tahan tak sampai.

Bagaimana kalau saya tuliskan saja poin2 yang peristiwa, ide, atau apalah itu. Mungkin Saudara-saudari yang membaca (mungkinkah ada?) bisa mendapatkan ide untuk meluaskannya menjadi suatu tulisan tersendiri.

- Saya percaya bahwa pendapat PidiBaiq ada benarnya bahwa beliau berpendapat Gus Dur tidaklah benar. Anggota DPR tidak mungkin masih anak TK!

- Masih ingatkah Anda tentang angin muson timur? Angin muson barat? Pancaroba? Tidak ingat? Tak apa-apa, sepertinya sekarang sudah kadaluarsa.

- Temanku baru menikah. Dia bertanya kebingungan,"SIM, STNK, KTP ada masa berlakunya, kok di buku nikah saya tidak dicantumkan ya?"

- Temanku yang belum menikah bisa menghipnotis ponakannya. Kalau ponakannya nakal, dia cukup memelototinya. Kemudian ponakannya akan menjewer kupingnya sendiri

- Dulu ayahku mengajari cara membuat pelangi. Dengan cara menyemburkan air ke arah datangnya matahari. Kini aku diajari oleh seorang ayah, yang bukan ayahku yang mengaku sebagai ayah terbaik di dunia, cara membuat air hujan berwarna-warni. Bubuhkan saja wantek bermacam warna di genteng

- Temanku yang sedang pusing urusan wanita jadi rajin menelepon diriku. Padahal aku ini tak tahu apa-apa mengenai masalah wanita. Bahkan biasanya akulah yang sibuk menelepon temanku itu, jika pusing dalam urusan wanita. Bah. Yang kami cari mungkin bukanlah solusi, tetapi sekedar teman berbagi, juga topangan untuk menguatkan diri. Aku lebih ganteng, sayangnya dia lebih tinggi. Syukurnya, selera kami tidaklah serupa

- Nanti akan kulanjutkan, kalau kerjaan kembali menggunung tinggi...

 

Jabung, April 2011   

Jumat, 30 Juli 2010

Aipi Men 2

Di dalam sebuah angkot terdapatlah seorang makhluk berjenggot yang dengan pedenya naik sendirian. Baru kali ini sang Jengis alias Jenggotan tapi Manis naek angkot di kota gajah. Kebetulan di dalam angkot juga ada beberapa remaja putri berseragam pramuka. Para remaja itu pun memeriahkan suasana angkot dengan berbincang tentang film-film saru (eh, seru) yang baru nongol di bioskop. Beberapa judul mereka sebutkan, tapi kuping Jengis yang rada bolot Cuma nangkep “aipi men 2”. Si Jengis pun mengernyitkan sebelah alisnya, bingung dia film apa yang dimaksud.
“Owh, yang kalian maksud itu Ip Man 2 ya? Bacanya Yip Man tau” Jengis pun ikut nimbrung obrolan, tapi dalam hati. “Cakep2 gitu aj kok ga tau”
Jengis pun manggut2, inget dulu ketika menemukan komik jahil yang berjudul “Benny and Mice”. Judulnye Amrik, tapi kok kelakuannye Indonesie banget ye. Eh, ternyata salah ucap, mestinya dilafalkan beni dan mice, ejaan Indonesia, asli. Lha wong yang bikin komik namanya Benny Rahadi dan Muhammad Misrad alias Mice.
Jadi inget juga dengan sebuah salon di sekitar Cileunyi, di perjalanan antara Bandung-Jatinangor, ada salon yang bernama “City Salon”. Keren kan namanya? Ternyata salon itu dimiliki oleh seorang yang bernama Siti.
Para remaja itu pun turun dari angkot, tidak lupa memberi kiss by kepada si jenggot (ngarep). Tak lama kemudian Jengis pun tersadar, kok angkot kembali di tempat semula dia naik tadi.
“Hypermartnya udah lewat, Mas”
“Panggil saya ‘Bang’”
“Hypermartnya udah lewat, Bang”
“Lho, yang mana sih? Saya dari tadi kok bisa ga liat? Apa dari tadi nih angkot ga jalan?”
“Itu tadi yang gede di sebelah kiri. Ini angkot sudah muter satu rit, Bang, situ aja ga turun-turun.”
“Kamu tadi panggil saya apa?”
“Bang”
“Ini 2 rebu”
“Kurang, Bang, kan naeknya dua putaran”
“Tadi Kamu panggil Saya apa?”
“Bang”
“Ini saya tambah lagi 2 rebu, ga usah dibalikin. Makasih ya”
Jengis pun tersadar bahwa Hypermart yang dimaksud adalah Central Park. Central Park adalah nama Mall yang di dalamnya ada Hypermart. Kebo punya susu, sapi punya nama.
Akhirnya Jengis pun naik bis, berharap bertemu makhluk yang manis-manis. Tiba-tiba hapenya meringis, ada es-em-is dari seorang yang juga manis. Berbunyi: “Nak, skr d bndr lmpg? Kpn blk lg k Beckry?”
Dibalaslah oleh Jengis: “Iy, Bu. Balik ke Bekri senin pagi, iA”
“bekri? Oh, gt tulisanny. Pantesan Ib bingung. Katanya ngangon sapi, kok di toko roti”
Lalu terdengarlah suara seorang yang teriak-teriak meski bukan tarzan, sambil bergelantungan meski bukan monyet,”Basah! Basah! Basah!”. Jengis pun melihat pada celananya.
“Basa! Basa! Rajabasa!”. Jengis pun menepuk dahinya.
“Basah! Basah! Basah… seluruh tubuh….”. Pak sopir pun mengeraskan suara tape.
(Awalnya Saya berkehendak untuk memiringkan setiap kata yang tidak baku menurut Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Setelah Saya perhatikan dengan seksama, lebih baik Saya miringkan semua.)