Kamis, 30 Oktober 2008

AnehDot Kemiskinan

 

 

Ada sebuah anekdot tentang anak kota yang tidak mengerti tentang kemiskinan. Ceritanya sebagai berikut:

Ada anak orang kaya yang mendapat tugas dari gurunya. Tugasnya adalah membuat sebuah karangan yang bercerita mengenai sebuah keluarga miskin. Sang anak pun menulis,’Pada suatu hari (waktu masih belajar mengarang kita seringkali memulai karang dengan penggalan kata ini) ada sebuah keluarga. Keluarga ini sangat miskin. Mereka memiliki pembantu yang miskin sekali. Sopirnya juga miskin sekali. begitu juga dengan tukang cuci, dan tukang kebunnya. Mereka semua miskin.”

Lucukah? Jika anda merasa cerita ini lucu, saya rasa karena disebabkan oleh adanya inkongruensi. Keadaan yang tidak kongruen/sesuai dengan kenyataan. Mungkin kita berpikir, mana ada keluarga miskin seperti ini. Kok bisa ya ada anak yang saking tidak mengertinya apa itu miskin, bagaimana keadaan orang miskin, bisa membuat karangan tentang orang miskin seperti di atas. Bukankah seharusnya orang miskin tidak mungkin bisa memiliki pembantu, bahkan sekaligus punya sopir, tukang cuci, dan tukang kebun. Keadaan tidak kongruen yang tercipta dalam anekdot di atas menyebabkan timbulnya kelucuan bagi kita.

Tapi kali ini saya menyadari bahwa apa yang diceritakan sang anak bukanlah sesuatu yang berbeda jauh dengan kenyataan. Mungkin saja benar. Dan ternyata ada benarnya juga. Ada sebuah buku yang saya lupa judul dan pengarangnya siapa. Yang jelas saya ingat buku itu berkisah tentang pengalaman seseorang di kala ia masih kecil. Penulis itu menceritakan keadaannya pada masa-masa awal kemerdekan Republik ini. Dia adalah seorang anak ningrat. Ayahnya sempat menjabat sebagai walikota. Ayahnya tidak mau bekerja sama dengan penjajah. Sikap ayahnya membuat keluarga mereka harus menerima keadaan ekonomi keluarga yang sulit. Meski demikian sulitnya ekonomi keluarga, bahkan ketika terjadinya agresi militer Belanda, mereka tetap memiliki pembantu. Tidak hanya satu orang, tetapi beberapa orang yang memiliki tugas-tugas yang berbeda. Yah, mungkin kita tidak akan merasa heran kalau melihat kasta keluarga tersebut sebagai golongan ningrat Jawa, yang tentunya memiliki abdi dalem tersendiri. Namun tetaplah anekdot di atas sesuai dengan keadaan mereka. “Ada sebuah keluarga. Keluarga ini sangat miskin. Mereka memiliki pembantu yang miskin sekali. Sopirnya juga miskin sekali. Begitu juga dengan tukang cuci, dan tukang kebunnya. Mereka semua miskin.”

Satu kisah lagi berasal dari Jepang. Cerita tentang seorang samurai miskin. Samurai tersebut hanyalah pegawai rendahan, bergaji kecil (hanya 50 koku), punya dua anak kecil, seorang ibu yang sudah pikun, sedangkan istrinya meninggal karena sakit. Konon sakitnya tidak bisa sembuh karena keadaan mereka yang terlalu miskin. Selain itu, dia juga memiliki terlibat hutang, terutama hutang untuk membiayai pemakaman istrinya. Meski demikian miskinnya, sang Samurai memiliki pembantu. Pembantunya selalu siap melakukan apa pun tugas yang ia berikan. Nah, bagaimana kondisi pembantu sang Samurai? Dapatlah kita gambarkan dengan cerita anekdot di atas. ”Ada seorang Samurai yang sangat miskin. Dia memiliki pembantu yang miskin sekali.  

humor in Surgery

Humor in Surgery
 
1. Richard, a 62-year-old diabetic was admitted for amputation of 
three toes on his right foot. When prepping him for surgery,
 the circulating nurse discovered that he'd written on his lower left leg,
 "It's my OTHER right foot!"
(Buxman, 2008)

 

2. Seorang gadis yang akan dioperasi diam diam menempelkan sebuah catatan di atas dinding perutnya. Catatan kecil yang ditujukan kepada dokter itu berbunyi:

 “Saat Anda mengeluarkan tumorku, tolong angkat juga tahi lalat di hidungku. Karena aku mau jadi bintang film, dan tahi alat itu harus dihilangkan. Sampai jumpa.”

(Metcalf & Felible, 1992)