Senin, 02 Januari 2012

Kisah Lelah di Akhir Tahun, Bagian 2: Demi Kau dan Si Buah Hati

Untuk apa sobat bekerja? Menurut salah seorang temanku, yang rela bekerja di sebuah kandang di desa terpencil di tengah hutan yang akses jalan masuknya seperti jalan yang baru saja dibom tentara Jepang, adalah "demi kau dan si buah hati". "kau" yang ia maksudkan tentu adalah istrinya, bukan istri tetangga. 

Temanku itu, sebut saja namanya Joni, seringkali merasa tak enak hati manakala mendapat makanan enak di kantor. Yang membuat tak enak hati adalah karena ia teringat anak-anaknya di rumah, entah makan apa mereka di rumah. Begitulah sayangnya ia pada anak-anaknya. Rasa bersalah karena makan enak di kantor tanpa bagi-bagi dengan anak-anak di rumah biasanya ia tebus dengan membelikan makanan --entah martabak, atau sekedar gorengan-- sebagai oleh-oleh. 

Saya yang belum punya anak, bahkan calon ibunya anak-anak pun belum punya, tentu saja belum bisa merasakan langsung kondisi Mang Joni. Saya hanya tersenyum, manggut-manggut sambil ngelus janggut.  

Suatu ketika Mang Joni bercerita, bahwa ibunya yang di kampung tiba-tiba menelepon. Ibunya bertanya apakah ia menyayangi anak-anaknya. Mang Joni pun mengungkapkan pada ibunya betapa ia sayang pada anak-anaknya, bahkan saat jam kerja pun sering teringat anak di rumah. Kemudian ibunya Mang Joni berkata,"Begitu juga Emak, Emak pun sangat menyayangi anak Emak. Emak kangen, tapi kok anak Emak ga nelpon Emak ya?"  

Saya pun tersadar, saya memang belum punya anak, tetapi walau bagaimanapun saya adalah anak dari seorang ibu. Saya juga tak ingin kalau nanti anak-anak saya kurang ajar pada ibunya. 

Rencana liburan ke pantai Kiluan pun, akhirnya saya batalkan. Jatah cuti tahunan jauh lebih baik saya pakai untuk pulang ke rumah ke Bangka. Saya ingin melihat langsung ibu saya yang kondisinya sedang sakit. Saya memang bukan dokter yang paham tentang macam-macam penyakit beserta cara penyembuhannya. Namun, rawat jalan di Fakultas Psikologi selama 5 tahun, memberi sedikit pengetahuan tentang apa yang harus saya lakukan terhadap ibu saya. Salah satu yang termudah untuk dilakukan adalah mengantar ibu ke puskemas. Ibu tentu senang didampingi anaknya yang terganteng sejagad sapu untuk periksa ke dokter di puskesmas. Dan anaknya ini bisa sekalian ngecengin dokter yang memeriksa ibunya, ups:D

Saya hanya 4 malam di rumah (24-28 Des). Memang sempat disayangkan oleh orang tua, kenapa saya harus cepat-cepat pulang, toh sekembalinya ke Lampung hanya masuk kerja 2 hari kemudian libur lagi akhir pekan sekaligus akhir tahun. Saya tak mungkin mengulur waktu cuti, meski ada sedikit sesal. Sebagaimana Takezo, yang setelah mengubah namanya menjadi Mushashi tak pernah menyesali keputusan apa pun yang sudah diambil, begitu pula saya tak mau menyesal berlarut-larut dan mengubah keputusan.

Selalu ada hikmah di balik setiap peristiwa yang awalnya tidak kita sukai. Saya pun menerima "kesalahan" saya yang mangambil cuti tanggung. Saya hanya bersiap diri menjalani konsekuensi apa yang akan saya terima. Ternyata konsekuensinya adalah saya akan menghabiskan akhir pekan sekaligus akhir tahun bersama seorang teman menjelajahi kota Bandar Lampung bertualang lidah dan mencari objek foto.

bersambung....

 

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar