Selasa, 17 Januari 2012

Ternyata Saburai Tak Ada Hubungannya dengan Samurai

Salah satu kata yang sering saya dengar di sini adalah ”Saburai”. Sebuah lapangan luas semacam alun-alun kota yang sering digunakan untuk penyelenggarakan bermacam acara dinamakan Lapangan Saburai. Sudah hampir dua tahun saya di kota ini saya masih belum tahu apa sebenarnya Saburai itu. Wisnu teman saya, yang hampir satu tahun di kota ini, bilang bahwa Saburai itu singkatan dari Sai Bumi Ruwa Jurai. Namun, ia juga masih belum tahu apa arti sebenarnya dari frasa Sai Bhumi Ruwa Jurai. Akhirnya, meskipun belum tahu apa artinya, saya resmi meninggalkan spekulasi bahwa Lampung ini ada hubungan istimewa dengan samurai Jepang.

Teman saya yang lahir dan besar di Lampung tanpa diminta menjelaskan bahwa arti dari Sai Bumi Ruwa Jurai adalah Satu Bumi Dua Jurai. Bumi ya artinya bumi. Sedangkan jurai dapat berarti golongan atau suku. Kata temanku yang cantik itu (hueks:p) yang dimaksud dengan dua jurai adalah dua suku utama yang asli Lampung. Pertama, biasa disebut Pepadun. Suku Lampung Pepadun adalah orang-orang asli yang mendiami wilayah Lampung pedalaman (atau agak ke dalam). Yang kedua adalah yang biasa disebut Lampung Sai Batin. Sai Batin adalah orang-orang asli yang mendiami wilayah pinggiran atau pesisir Lampung.

Di lain pihak, ternyata Wisnu juga mencari tahu mengenai istilah Saburai. Saat Wisnu hendak menjelaskan kepada saya arti dari Saburai, namun saya dengan sigap mendahuluinya dengan presentasi singkat hasil penjelasan teman saya di atas. Ternyata, informasi yang didapatkan Wisnu sedikit berbeda. Berdasarkan sumber Wisnu, yang dimaksud dengan dua jurai adalah golongan asli Lampung dan golongan pendatang. Sebagaimana kita ketahui Lampung merupakan salah satu daerah tujuan transmigrasi. Banyak sekali pendatang di sini, terutama yang berasal dari Jawa. Jadi jangan heran kalau sobat datang ke Lampung mendengar percakapan sehari-hari dalam bahasa Jawa. Dan uniknya lagi (menurut saya) orang Lampung asli banyak yang pandai berbahasa Jawa, namun sayangnya jarang sekali ada pendatang Jawa yang pandai berbahasa Lampung. Dan saya sendiri, hampir dua tahun di sini rasanya lebih banyak mendengar bahasa Jawa dibanding bahasa Lampung. Ah, wat wat gawoh.

(Ini hanyalah sekedar cerita pencarian saya dengan metode mulut ke mulut. Jika ingin menelusuri catatan tertulis silakan lihat di sini dan sini. Lebih lengkap lagi di sana dan sana)  

Senin, 16 Januari 2012

Karena Kita Merasakan Hal yang Sama

Tadi malam, maksud saya beberapa jam lalu, berbincang-bincanglah kita mengenai hal-hal yang dapat diperbincangkan. Entah dari mana, muncullah topik mengenai makhluk KW yang biasa disebut bencong. Apakah istilah bencong masih lazim digunakan saat ini? Tak apa, saya pakai saja istilah itu, bencong. Sumpah, saya tak bermaksud merendahkan sama sekali karena saya yakin pastilah saya yang lebih rendah, boleh kita ukur pakai meteran.

Wanita itu mengungkapkan perasaannya. Dia merasa heran kenapa para lelaki yang ia ketahui sangat takut terhadap bencong. Waktu kuliah dulu, katanya, jika berjalan berombongan dengan para lelaki kebetulan akan berpapasan dengan sekelompok bencong, pastilah para lelaki itu bertingkah aneh. Para lelaki itu tampak seperti ketakutan, malah terkesan minta dilindungi oleh para wanita. Intinya, para lelaki berusaha menjauh dari jangkauan para bencong.

Saya, yang juga memilih menjauh dari jangkauan para bencong jika seandainya berpapasan, agak bingung bagaimana cara menjelaskan fenomena di atas. Teman saya yang lebih bijak dari saya mencoba menjelaskan dengan perumpamaan.

Teman saya bertanya pada wanita yang bertanya,"Bayangkan, apa yang kamu rasakan jika seandainya ada seorang lelaki tak dikenal tiba-tiba datang menghampirimu. Kemudian dia menggodamu, lantas tangannya mencolek-colek serta menggerayangi tubuhmu?"

Sang wanita hanya menjawab dengan ekspresi wajahnya serta bersuara,"Hiiiiii...."

"Nah, kami para lelaki pun merasakan hal yang sama." Sungguh jawaban yang tak terbayangkan oleh saya sebelumnya.

 

Maaf saya hanya ingin menulis. Semua bahan bermutu yang ingin saya tuliskan sudah menguap entah ke mana. Seharusnya saya tak membuka FB menggunakan notebook. Akibatnya saya jadi susah tidur. Semoga dengan selesainya saya mengunggah tulisan ini, saya bisa langsung tertidur. Dan saya memilih untuk menutup mata dengan tersenyum. Jangan lupa berdoa ya, dan juga doakan saya.:)


ps: ini diambil dari catatan yang saya tulis di FB note saya

Senin, 02 Januari 2012

Kisah Lelah di Akhir Tahun, Bagian 2: Demi Kau dan Si Buah Hati

Untuk apa sobat bekerja? Menurut salah seorang temanku, yang rela bekerja di sebuah kandang di desa terpencil di tengah hutan yang akses jalan masuknya seperti jalan yang baru saja dibom tentara Jepang, adalah "demi kau dan si buah hati". "kau" yang ia maksudkan tentu adalah istrinya, bukan istri tetangga. 

Temanku itu, sebut saja namanya Joni, seringkali merasa tak enak hati manakala mendapat makanan enak di kantor. Yang membuat tak enak hati adalah karena ia teringat anak-anaknya di rumah, entah makan apa mereka di rumah. Begitulah sayangnya ia pada anak-anaknya. Rasa bersalah karena makan enak di kantor tanpa bagi-bagi dengan anak-anak di rumah biasanya ia tebus dengan membelikan makanan --entah martabak, atau sekedar gorengan-- sebagai oleh-oleh. 

Saya yang belum punya anak, bahkan calon ibunya anak-anak pun belum punya, tentu saja belum bisa merasakan langsung kondisi Mang Joni. Saya hanya tersenyum, manggut-manggut sambil ngelus janggut.  

Suatu ketika Mang Joni bercerita, bahwa ibunya yang di kampung tiba-tiba menelepon. Ibunya bertanya apakah ia menyayangi anak-anaknya. Mang Joni pun mengungkapkan pada ibunya betapa ia sayang pada anak-anaknya, bahkan saat jam kerja pun sering teringat anak di rumah. Kemudian ibunya Mang Joni berkata,"Begitu juga Emak, Emak pun sangat menyayangi anak Emak. Emak kangen, tapi kok anak Emak ga nelpon Emak ya?"  

Saya pun tersadar, saya memang belum punya anak, tetapi walau bagaimanapun saya adalah anak dari seorang ibu. Saya juga tak ingin kalau nanti anak-anak saya kurang ajar pada ibunya. 

Rencana liburan ke pantai Kiluan pun, akhirnya saya batalkan. Jatah cuti tahunan jauh lebih baik saya pakai untuk pulang ke rumah ke Bangka. Saya ingin melihat langsung ibu saya yang kondisinya sedang sakit. Saya memang bukan dokter yang paham tentang macam-macam penyakit beserta cara penyembuhannya. Namun, rawat jalan di Fakultas Psikologi selama 5 tahun, memberi sedikit pengetahuan tentang apa yang harus saya lakukan terhadap ibu saya. Salah satu yang termudah untuk dilakukan adalah mengantar ibu ke puskemas. Ibu tentu senang didampingi anaknya yang terganteng sejagad sapu untuk periksa ke dokter di puskesmas. Dan anaknya ini bisa sekalian ngecengin dokter yang memeriksa ibunya, ups:D

Saya hanya 4 malam di rumah (24-28 Des). Memang sempat disayangkan oleh orang tua, kenapa saya harus cepat-cepat pulang, toh sekembalinya ke Lampung hanya masuk kerja 2 hari kemudian libur lagi akhir pekan sekaligus akhir tahun. Saya tak mungkin mengulur waktu cuti, meski ada sedikit sesal. Sebagaimana Takezo, yang setelah mengubah namanya menjadi Mushashi tak pernah menyesali keputusan apa pun yang sudah diambil, begitu pula saya tak mau menyesal berlarut-larut dan mengubah keputusan.

Selalu ada hikmah di balik setiap peristiwa yang awalnya tidak kita sukai. Saya pun menerima "kesalahan" saya yang mangambil cuti tanggung. Saya hanya bersiap diri menjalani konsekuensi apa yang akan saya terima. Ternyata konsekuensinya adalah saya akan menghabiskan akhir pekan sekaligus akhir tahun bersama seorang teman menjelajahi kota Bandar Lampung bertualang lidah dan mencari objek foto.

bersambung....

 

  

Kisah Lelah di Akhir Tahun: Bagian 1

Apa yang sobat rasakan menjelang berakhirnya tahun 2011? Terus terang saya merasakan kelelahan. Tiga bulan di akhir tahun dihadapkan dengan jadwal yang begitu padat. Training sepanjang hari sampai meeting sampai tengah malam. Saya yakin saya menjalaninya dengan senang dan bersemangat, senyum ceria dan canda tawa. Namun, saya tak bisa memungkiri bahwa tubuh saya kelelahan.

Di bulan Desember, sembari menunggu kesempatan cuti, saya berusaha memanfaatkan benar celah-celah waktu di akhir pekan. Meski saya harus mengorbankan sabtu siang yang seharusnya libur, jadwal sore-malam mingguan sedikit pun tak boleh diganggu. Latihan Aikido menjadi menu wajib, dilanjutkan futsal sampai tengah malam (kadang-kadang futsal saya lewatkan demi memperpanjang kencan dengan Aikido:D). Yup, dibanting-banting dan meringis keenakan karena dijepit dan dikunci di dojo, berlanjut lari-lari kesana-kemari tendang kaki orang, ups, bola di lapangan futsal. Menyenangkan? Awalnya iya. Malamnya dalam tidur saya bermimpi memikirkan pekerjaan, lalu terbangun dengan kondisi kepala yang rasanya mau pecah. Saya tidur dengan kepala bersujud, pan*at nungging, komat-kamit istighfar. Alhamdulillah, saya masih ingat untuk istighfar. Akhir pekan berakhir dengan tepar di atas ranjang:D

Akhirnya pekan ke-2 terakhir di 2011 mendekat, yang berarti tingkat kesibukan mencapai puncak, lalu menurun. Anehnya kesibukan saya bertambah. Selain mengejar penyelesaian kerjaan kantor, ditambah sibuk cari-cari info dan teman untuk liburan. Saya pun menjadi semakin sadar, bahwa tubuh ini punya hak istirahat dan berlibur. Bukan cuma sepatu wanita yang punya hak, (lho).