Kamis, 01 Agustus 2013

Bunga Pagi Berwarna Ungu


 Aku menyebutnya bunga jam 2, tentu bukan nama sebenarnya. Dia bukanlah korban kekerasan seksual yang terjadi pada pukul 2 siang. Dia benarlah tanaman yang mahkota bunganya berwarna ungu. Aku bisa memandanginya dari jendela sebelah meja kerjaku yang berada di pojokan. Meski tampak ditanam serampangan, tetaplah tampak indah memandangi mahkota-mahkota ungu yang segar bermekaran di pagi hari. Sehabis zuhur mulai layu, jam 2 siang ia berguguran sudah. Hanya tersisa daun-daun hijau yang tampak berusaha terlihat segar, tapi yang kulihat adalah hijau pucat yang tak bergairah.

Aku menyebutnya bunga jam 2, meski aku tak tahu nama sebenarnya. Aku menyebutnya demikian untuk mengenang gugurnya ia setiap pukul 2 siang. Aku mengingat jam 2 siang yang layu karena pada saat yang sama hatiku pun melayu. Entah lelah karena dari pagi memeras otak demi rancangan solusi berbagai macam proyek. Entah lelah karena dari pagi berusaha keras memfokuskan perhatian pada pekerjaan, mengalihkan pikiran dari dia yang di sana. Entah terikut layu karena simpati pada bunga ungu yang sudah gugur. Entah terikut lesu karena simpati pada hijau pucat yang tersisa. Entah karena sadar hari ini akan segera berlalu tanpa bertemu wajah ceria yang di sana.
Aku ingin ganti menyebutnya bunga pagi, meski aku tak yakin sepagi apa kuntumnya mulai bermekaran. Aku ingin menyebutnya bunga pagi, karena ia menyegarkan mataku ketika aku melihat ke luar jendela ruang kerjaku di pagi hari.
Aku suka dia ketika pagi, karena mataku jadi berbinar melihatnya. Entah karena aku ikut bersemangat melihat warnanya yang ceria. Entah karena aku merasa bugar terpukau warnanya yang segar. Entah karena masih pagi, jadi pikiranku masi belum terjejali rencana-rencana proyek. Entah karena masih pagi, jadi hatiku masih bahagia membayangkan mimpi semalam bertemu dengannya. Entah karena otot-otot dalam otak belum berjibaku menyingkirkan ia dari pikiran agar bisa fokus pada pekerjaan.
Maka aku sebut dia bunga pagi, bukan karena itu nama sebenarnya. Karena aku ingin yang membekas adalah ceria saja. Karena aku sadar, yang gugur kemarin siang akan terganti lagi dengan mahkota segar yang baru. Karena batang dan daun hijau yang kukira pucat karena layu, sebenarya menunjukkan kerasnya usaha untuk memunculkan kembali senyum bunga di pagi hari. 
Aku suka melihat bunga itu di pagi hari karena menyadarkanku bahwa hari baru telah dimulai, maka sebentar lagi aku akan kembali bertemu dengan dia yang di sana.Jadi kunamakan dia bunga pagi. Semoga dia setuju, karena telinga delusiku mendengar dia berseru,”Semangat pagi, Sayang...!”
             
                                                                               Bontang, Jumat Pagi Awal Agustus 2013