Aku menyebutnya bunga jam 2, tentu bukan nama sebenarnya. Dia
bukanlah korban kekerasan seksual yang terjadi pada pukul 2 siang. Dia benarlah
tanaman yang mahkota bunganya berwarna ungu. Aku bisa memandanginya dari
jendela sebelah meja kerjaku yang berada di pojokan. Meski tampak ditanam
serampangan, tetaplah tampak indah memandangi mahkota-mahkota ungu yang segar
bermekaran di pagi hari. Sehabis zuhur mulai layu, jam 2 siang ia berguguran
sudah. Hanya tersisa daun-daun hijau yang tampak berusaha terlihat segar, tapi
yang kulihat adalah hijau pucat yang tak bergairah.
Aku menyebutnya bunga jam 2, meski aku tak tahu nama
sebenarnya. Aku menyebutnya demikian untuk mengenang gugurnya ia setiap pukul 2
siang. Aku mengingat jam 2 siang yang layu karena pada saat yang sama hatiku
pun melayu. Entah lelah karena dari pagi memeras otak demi rancangan solusi
berbagai macam proyek. Entah lelah karena dari pagi berusaha keras memfokuskan
perhatian pada pekerjaan, mengalihkan pikiran dari dia yang di sana. Entah terikut
layu karena simpati pada bunga ungu yang sudah gugur. Entah terikut lesu karena
simpati pada hijau pucat yang tersisa. Entah karena sadar hari ini akan segera
berlalu tanpa bertemu wajah ceria yang di sana.
Aku ingin ganti menyebutnya bunga pagi, meski aku tak yakin
sepagi apa kuntumnya mulai bermekaran. Aku ingin menyebutnya bunga pagi, karena
ia menyegarkan mataku ketika aku melihat ke luar jendela ruang kerjaku di pagi
hari.
Aku suka dia ketika pagi, karena mataku jadi berbinar
melihatnya. Entah karena aku ikut bersemangat melihat warnanya yang ceria. Entah
karena aku merasa bugar terpukau warnanya yang segar. Entah karena masih pagi,
jadi pikiranku masi belum terjejali rencana-rencana proyek. Entah karena masih
pagi, jadi hatiku masih bahagia membayangkan mimpi semalam bertemu dengannya. Entah
karena otot-otot dalam otak belum berjibaku menyingkirkan ia dari pikiran agar
bisa fokus pada pekerjaan.
Maka aku sebut dia bunga pagi, bukan karena itu nama
sebenarnya. Karena aku ingin yang membekas adalah ceria saja. Karena aku sadar,
yang gugur kemarin siang akan terganti lagi dengan mahkota segar yang baru. Karena
batang dan daun hijau yang kukira pucat karena layu, sebenarya menunjukkan
kerasnya usaha untuk memunculkan kembali senyum bunga di pagi hari.
Aku suka
melihat bunga itu di pagi hari karena menyadarkanku bahwa hari baru telah
dimulai, maka sebentar lagi aku akan kembali bertemu dengan dia yang di sana.Jadi kunamakan dia bunga pagi. Semoga dia setuju, karena telinga delusiku mendengar dia berseru,”Semangat pagi, Sayang...!”
Bontang, Jumat Pagi Awal Agustus 2013