Selasa, 12 November 2013

Evaluasi Nilai Investasi Pelatihan dengan ROTI

Beberapa waktu lalu saya Praktek Kerja Profesi Psikolog di sebuah BUMN pembuat Pupuk di Bontang. Tidak perlu saya sebut merk lah ya. Saya dulu pernah membahas salah satu makanan kesukaan saya, yaitu roti. Nah, di kota kecil ini saya menemukan roti yang juga enak (saya usahakan menulis tentang ini nanti) dimakan. Entah saya berjodoh dengan roti atau bagaimana, kebetulan saya juga menggarap project pengembangan tools penghitungan ROTI. Nah, jadi meskipun siang hadi bulan puasa, selama praktek kerja saya tetap harus mengadon dan mengunyah roti. Roti apa yang saya maksudkan? Berikut saya kopi saja dari blog yang yang isinya lebih serius:


Seringkali, training dianggap sebagai sebuah pengeluaran. Pandangan ini menyebabkan banyak manajemen perusahaan yang menomorduakan kebutuhan training bagi karyawannya karena menganggap hanya buang-buang dana dan waktu. Pandangan lain yang menganggap bahwa training merupakan bentuk investasi dituntut untuk dapat membuktikan secara objektif bahwa training memang menghasilkan benefit yang dapat dihitung secara finansial.
Bertahun-tahun nilai investasi (ROI/ return on investment) untuk pelatihan diasumsikan tidak mungkin dihitung. Pada akhirnya, Return on Training Investment (ROTI) dikembangkan menjadi sebuah alat untuk menjawab apakah suatu pelatihan dapat dievaluasi dilihat dari sisi nilai ekonomis atau tidak.
Return on Training Investment (ROTI) adalah perhitungan keuntungan secara financial Nilai Rupiah Hasil Training dibandingkan terhadap Modal atau biaya Training yang telah dikeluarkan.
Menurut Phillips (2013), proses evaluasi ROTI terdiri dari empat tahapan umum, yaitu perencanaan, penngumpulan data, analisis data, dan pelaporan hasil. Dalam tahap perencanaan dilakukan rencana evaluasi dan mengumpulkan informasi mengenai data awal dan latar belakang penyelenggaraan pelatihan.
Pada tahap pengumpulan data, dilakukan evaluasi yang menghasilkan data mengenai kepuasaan terhadap pelatihan, hasil belajar yang diperoleh, aplikasi hasil pelatihan dalam pekerjaan, dan dampak dalam kinerja.
Tahapan analisis data membuat konversi nilai benefit training ke dalam bentuk keuangan (rupiah) sehingga dapat dihitung dalam bentuk angka. Hasil dalam bentuk angka tersebut akan disampaikan sebagai hasil akhir dalam proses evaluasi ROTI.

Langkah menghitung ROTI
Secara praktis, langkah penghitungan nilai ROTI dapat dibagi menjadi lima tahapan, yaitu:
1. Identifikasi pelatihan. Data yang diidentifikasi antara lain, kurikulum pelatihan, tempat dan waktu pelaksanaan, fasilitator, peserta, dan unit analisis.
2. Daftar alasan pelatihan dilakukan. Dalam hal ini mengumpulkan data mengenai latar belakang dan tujuan pelatihan, manfaat pelatihan yang diperoleh baik yang bersifat tangible maupun intangible.
3. Kalkulasi biaya pelatihan. Biaya pelatihan yang dihitung mencakup:
a) analisa kebutuhan pelatihan (TNA / Training Needs Analysis) dan perencanaan
b) pengembangan materi dan kurikulum
c) biaya registrasi
d) fee trainer dan konsultan
e) peralatan dan perlengkapan
f) fasilitas
g) akomodasi
h) gaji selama pelatihan
iv. Kalkulasi benefit pelatihan. Benefit pelatihan dapat dikategorikan menjadi:
a) Penghematan waktu
b) Peningkatan produktifitas/ out put
c) personnel savings
d) peningkatan kompetensi
e) Nilai tambah pekerjaan
v. Kalkulasi nilai Return On Training Investment (ROTI)
Nilai ROTI dapat dilihat dari benefit-cost ratio atau nilai ROI. Adapun rumus perhitungan ROTI yang digunakan adalah:
Benefit-cost Ratio (BCR) =      Total Net Benefit
                                                     Total Training Cost

ROI ( % ) = ( Total Net Benefit – Total Training Cost ) x  100%
                                          ( Total Training Cost)
Dimana:
BCR merupakan nilai perbandingan antara manfaat yang diperoleh dengan keseluruhan biaya yang dikeluarkan.Nilai BCR yang menguntungkan adalah jika lebih dari 1.
Persentase ROI merupakan perbandingan antara selisih nilai manfaat pelatihan dan biaya pelatihan dibandingkan dengan biaya pelatihan.ROI dinyatakan dalam bentuk persentase. Nilai ROI dikatakan menguntungkan jika nilianya lebih dari 100%.
Total Net Benefits merupakan keuntungan bersih yang diperoleh dari hasil penerapan pelatihan setelah memperhitungkan faktor isolasi. Sedangkan Total training cost adalah jumlah total biaya pelatihan yang dikeluarkan.

Faktor Isolasi
Dengan melihat begitu banyaknya hal yang mungkin berpengaruh pada kinerja seseorang, maka sebagai peneliti kita harus memastikan bahwa faktor pengetahuan dan skill yang diperoleh dari pelatihan merupakan hal yang berpengaruh terhadap peningkatan kinerja seseorang dan bukan faktor lain. Untuk memastikan hal tersebut Phillips (2003) menganjurkan beberapa metode. Berdasarkan pengalaman penulis, ada dua metode yang relatif mudah diterapkan di lapangan, yaitu dengan control groups atau skala keyakinan pengaruh pelatihan.
Control Groups sebenarnya merupakan metode isolasi yang paling akurat, yang dilakukan dengan cara membandingkan kinerja antara kelompok yang mengikuti program training dengan kelompok lain (control groups) yang tidak mengikuti program training. Hanya saja, metode ini juga memiliki beberapa kelemahan, antara lain sangat sulitnya untuk mendapatkan control groups yang benar‐benar identik dengan kelompok yang mengikuti program training selain dari pengaruh training itu sendiri. Kelemahan lainnnya adalah apabila kelompok‐kelompok yang dibandingkan tersebut berada di lokasi yang berbeda, maka terdapat pengaruh lingkungan yang berbeda pula.
Cara kedua adalah menggunakan skala keyakinan pengaruh pelatihan. Metode ini dilakukan dengan cara meminta peserta/ responden untuk memperkirakan besarnya pengaruh training terhadap pekerjaannya dalam ukuran persentase. Pertimbangan penggunaan metode ini antara lain adalah bahwa peserta pelatihan merupakan pihak yang terlibat langsung dan oleh karenanya paling mengetahui perubahan apa saja yang terjadi setelah dia mengikuti program pelatihan. Sebagai penguat, atasan dari responden juga diminta untuk memperkirakan persentase dampak pelatihan terhadap perubahan kinerja responden yang bersangkutan.

Nah, sudah ada gambaran tentang ROTI ini? Jika tertarik atau ingin diskusi lebih lanjut silakan kontak saya:)

Kamis, 01 Agustus 2013

Bunga Pagi Berwarna Ungu


 Aku menyebutnya bunga jam 2, tentu bukan nama sebenarnya. Dia bukanlah korban kekerasan seksual yang terjadi pada pukul 2 siang. Dia benarlah tanaman yang mahkota bunganya berwarna ungu. Aku bisa memandanginya dari jendela sebelah meja kerjaku yang berada di pojokan. Meski tampak ditanam serampangan, tetaplah tampak indah memandangi mahkota-mahkota ungu yang segar bermekaran di pagi hari. Sehabis zuhur mulai layu, jam 2 siang ia berguguran sudah. Hanya tersisa daun-daun hijau yang tampak berusaha terlihat segar, tapi yang kulihat adalah hijau pucat yang tak bergairah.

Aku menyebutnya bunga jam 2, meski aku tak tahu nama sebenarnya. Aku menyebutnya demikian untuk mengenang gugurnya ia setiap pukul 2 siang. Aku mengingat jam 2 siang yang layu karena pada saat yang sama hatiku pun melayu. Entah lelah karena dari pagi memeras otak demi rancangan solusi berbagai macam proyek. Entah lelah karena dari pagi berusaha keras memfokuskan perhatian pada pekerjaan, mengalihkan pikiran dari dia yang di sana. Entah terikut layu karena simpati pada bunga ungu yang sudah gugur. Entah terikut lesu karena simpati pada hijau pucat yang tersisa. Entah karena sadar hari ini akan segera berlalu tanpa bertemu wajah ceria yang di sana.
Aku ingin ganti menyebutnya bunga pagi, meski aku tak yakin sepagi apa kuntumnya mulai bermekaran. Aku ingin menyebutnya bunga pagi, karena ia menyegarkan mataku ketika aku melihat ke luar jendela ruang kerjaku di pagi hari.
Aku suka dia ketika pagi, karena mataku jadi berbinar melihatnya. Entah karena aku ikut bersemangat melihat warnanya yang ceria. Entah karena aku merasa bugar terpukau warnanya yang segar. Entah karena masih pagi, jadi pikiranku masi belum terjejali rencana-rencana proyek. Entah karena masih pagi, jadi hatiku masih bahagia membayangkan mimpi semalam bertemu dengannya. Entah karena otot-otot dalam otak belum berjibaku menyingkirkan ia dari pikiran agar bisa fokus pada pekerjaan.
Maka aku sebut dia bunga pagi, bukan karena itu nama sebenarnya. Karena aku ingin yang membekas adalah ceria saja. Karena aku sadar, yang gugur kemarin siang akan terganti lagi dengan mahkota segar yang baru. Karena batang dan daun hijau yang kukira pucat karena layu, sebenarya menunjukkan kerasnya usaha untuk memunculkan kembali senyum bunga di pagi hari. 
Aku suka melihat bunga itu di pagi hari karena menyadarkanku bahwa hari baru telah dimulai, maka sebentar lagi aku akan kembali bertemu dengan dia yang di sana.Jadi kunamakan dia bunga pagi. Semoga dia setuju, karena telinga delusiku mendengar dia berseru,”Semangat pagi, Sayang...!”
             
                                                                               Bontang, Jumat Pagi Awal Agustus 2013




Senin, 18 Maret 2013

Integritas dan Kegalauan: Antara Hati, Perkataan, dan Perbuatan


Saat ini sudah sering kita mendengar kata “integritas”. Dalam persyaratan lowongan kerja pun tidak jarang menjadikan integritas sebagai salah satu requirement-nya. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan integritas?
Kalimat paling sederhana untuk menggambarkan makna integritas adalah kesamaan antara perkataan dan perbuatan. Jadi, seorang yang dikatakan berintegritas apabila apa yang ia katakan sesuai dengan apa yang ia lakukan.
Perilaku yang sulit dikatakan contoh integritas misalnya adalah ketika kita berpisah dengan teman atau saudara. Bisanya saat berpisah kita melambaikan tangan dan berseru,”dada...!”. Sayang sekali, apa yang kita serukan itu tidak sesuai dengan apa yang kita lakukan. Kalau ingin dikatakan integritas, seharusnya yang kita serukan adalah,”tangan...!”, atau kita ganti yang digoyang-goyangkan bukanlah tangan, tetapi dada. Saya kira yang cukup pas adalah melambaikan tangan dengan berseru,”bye..!”. Bukan bermaksud sok English, tetapi kata kata “bye” menurut hemat saya diadaptasi dari kosakata Indonesia yang berasal dari kata “lambai”, namun dipenggal suku kata akhirnya saja seperti yang lazim dipakai dalam bahasa sms (sandek, pesan pendek) di kalangan anak muda gaul.
Sifat lain yang tidak tergolong integritas adalah seperti yang ditunjukkan oleh Darmaji. Si Darmaji ini kalau makan gorengan lima biji, tapi yang dibayar cuma satu. Begitulah sifat Darmaji, dari lima jadi hiji.  Teman seperjuangan Darmaji adalah Ajidarma. Sebagai pejabat, Ajidarma seringkali menambah-nambahi nilai anggaran proposal, dana yang tadinya hanya 1 miliar ditambah-tambahi menjadi 5 miliar. Demikianlah Ajidarma, awalnya hiji di-mark up jadi lima. Darmaji itu merugikan orang lain, sedangkan Ajidarma memperkaya diri sendiri, sehingga tak heran kalau Darmaji dan Ajidarma yang tidak termasuk golongan integritas ini menjadi kejaran KPK. Mohon maaf kalau ada kesamaan nama, sumpah itu memang bisa jadi sebuah nama, namun yang saya maksudkan bukan sebenarnya nama.
Dalam bela diri aikido yang belum lama saya tekuni, sering ditekankan harmoni antara mind-body-movement. Maksudnya adalah ketika kita melakukan sebuah teknik atau jurus hendaknya melibatkan ketiga hal tersebut. Salah satu guru besar pencak silat di Garut pun pernah mengatakan hal yang mirip, dengan istilahnya pikiran-hati-perbuatan. Dalam praktik keseharian, jika harmonisasi ketiga hal di atas tidak terjadi maka akan menyulitkan. Contoh konkritnya adalah seorang yang bertekad untuk beranjak (move on) dari mantan gebetan yang sungguh ngebet untuk dijadikannya sebagai ibu dari anak-anaknya kelak. Ia sudah yakin untuk tidak memikirkan wanita itu lagi, juga yakin sudah tidak punya perasaan apa-apa lagi. Akan tetapi jika ternyata masih sering stalking ke laman facebook, timeline twitter, status BB atau Whats App, maka sesungguhnya ia termasuk orang-orang yang galon, alias GAGAL MOVE ON!
Atau bisa jadi sebaliknya seorang wanita yang mati-matian menolak seorang lelaki, selalu pergi dan menghindar jauh dari jangkauan sang lelaki, namun ketika sang lelaki tampak tidak berbuat apa-apa wanita itu pun menoleh dan mencari-cari ada apa gerangan sang lelaki berhenti mengejar. Hal ini sangat berpotensi membuat sang wanita terjatuh pada perangkap yang tak terlihat. Sang lelaki benar-benar menikahi orang lain, sang wanita terjebak dalam nostalgia adrenalin pernah dikejar-kejar samapi ke ujung desa. Maka saudara-saudaraku, ketiadaan integritas berpotensi besar menyebabkan KEGALAUAN!
Bergeraklah kita dengan sepenuhnya sadar dan fokus pada tujuan, jangan terlalu banyak terpengaruh lingkungan. Dalam peribahasa Arab dikatakan bahwa sebenarnya kijang berlari lebih cepat daripada singa, kijang tertangkap singa karena terlalu sering melihat ke belakang. Seandainya sang kijang fokus berniat berlari, mengerahkan semua tenaganya, dan menghadapkan seluruh tubuhnya ke depan, tentu bisa selamat dari terkaman singa. Karena sikap dan perilaku yang tidak berintegritas ini, populasi kijang saat ini sudah jauh berkurang. Jumlahnya sudah kalah banyak dibanding jumlah avanza dan xenia.
Hal penting yang perlu kita ingat, pahami dan lakukan adalah bahwa integritas itu ada dalam persyaratan iman. Seorang dikatakan beriman apabila ia mengikrarkan dengan lisan, membenarkan dalam hatinya, serta mengamalkannya dalam perbuatan.
Jadi marilah Saudara-saudara, kita harmoniskan hati, lisan, dan perbuatan (anggota badan) agar kita termasuk golongan yang berintegritas dan terhindar dari kegalauan. 

Jumat, 01 Februari 2013

Meniru dan Ditiru

Di salah satu dojo tempat saya berlatih Aikido ada sebuah kebiasaan yang menurut saya agak aneh. Kebanyakan aikidoka pemula di sana seringkali melakukan teknik sambil menaruh sebelah tangan di pinggang. Keheranan saya akhirnya terpecahkan setelah bertemu sensei yang paling dituakan di sana. Sensei itu -tanpa mengurangi hormat saya- punya kebiasaan menopang pinggang dengan sebelah tangan saat menjelaskan sebuah teknik, suatu sikap tubuh yang sebenarnya hanya sebuah kebiasaan bukan bagian penting dari teknik.
Di lain waktu, seorang teman saya bercerita agar hati-hati bertingkah laku jika nanti sudah punya anak. Teman saya itu sempat bingung melihat anaknya yang berusia sekitar 2 tahun suka menyodor-nyodorkan upil ke orang lain. Setelah direnungkan, ternyata memang teman saya itu suka berbuat demikian saat bercanda dengan istrinya.
Saya sendiri sering kaget karena ada beberapa kebiasaan saya yang ternyata ditiru oleh teman-teman kantor. Teman satu ruangan saya jadi suka bertepuk tangan tiga kali. Katanya dengan dengan bertepuk tangan seperti itu dapat menghilangkan masalah dan stres. Parahnya, dia bilang kebiasaan itu ia tiru dari saya, padahal sama sekali saya tidak melakukan itu dengan niat demikian, murni iseng belaka.
Coba Anda renungkan beberapa kebiasaan yang seringkali Anda lakukan. Coba Anda ingat-ingat hal baru apa yang menjadi kebiasaan Anda, cara bicara, cara menulis, atau mungkin bahasa tubuh Anda. Dapatkah Anda menjelaskan dari mana muncul kebiasaan tersebut?
Kita memang belajar dari lingkungan. Bermula dari memperhatikan, kemudian meniru, akhirnya menjadi kebiasaan. Ada kalanya proses belajar hingga menjadi kebiasaan itu terjadi tanpa kita sadari. Lucunya, hal yang tanpa sadari kita tiru dari orang lain sebenarnya tidak ada makna sama sekali menurut orang yang kita tiru itu. Maka, marilah kita saring baik-baik pengaruh dari lingkungan, jangan sampai apa yang kita tiru malah suatu hal yang jelek.
Sekarang mari kita renungkan, hal apa yang dilakukan orang lain yang ternyata merupakan hasil tiruan dari perilaku kita? Adakah? Saya yakin ada. Coba lihat lingkungan dekat Anda. Jika Anda orang tua, perhatikan anak-anak Anda. Jika Anda seorang pemimpin, lihatlah anak buah Anda. Jika Anda seorang guru, perhatikanlah murid-murid Anda. Nah, apakah kebiasaan yang ditiru dari Anda adalah kebiasaan baik, jelek, atau malah tak bermakna? Yuk, kita lebih bijak dan hati-hati dalam bertindak dan bertingkah laku, semoga pengaruh yang kita tularkan adalah suatu hal yang baik-baik. Hal yang tak bermakna tak apa-apa yang ternyata ditiru, setidaknya menunjukkan bahwa kita orang yang pantas ditiru, hehe7.

Rabu, 23 Januari 2013

Inspiring, lalu...


Saat itu, semua anggota tim berkumpul di aula. Hampir semua yang bicara, menyiratkan keraguan. Mereka tidak yakin bahwa mereka bisa melakukan apa yang sudah diputuskan oleh kantor pusat. Bos di unit itu terus berusaha meyakinkan bahwa mereka bisa. Memang, Bos ini merupakan tipikal orang yang tak pernah mengatakan tidak bisa. Ia selalu mengatakan “ya” apapun tantangan yang harus ia hadapi.

Akhirnya saya melambaikan tangan untuk meminta izin bicara. Saya tak ingin tim berlarut-larut dalam ketidakpercayaan diri. Saya bercerita. Cerita yang dulu pernah disampaikan dosen saya dalam sebuah training, yang bagi saya sangat menginspirasi.
Ada anak unta bertanya pada bapaknya yang tentu juga unta.
“Ayah, Ayah, kenapa sih kita punya punuk?”
“Punuk ini adalah tempat cadangan air kita, jadi kalau kita berjalan jauh di padang pasir, kita tidak akan mudah kehausan.”
“Ayah, Ayah, kenapa sih kaki kita panjang-panjang?”
“Oh, itu agar kita tidak mudah terperosok di pasir ketika menjelajahi gurun berhari-hari”
“Ayah, ayah, kenapa sih kelopak mata kita lebar sekali?”
“Kau tahu, Nak? Di gurun seringkali terjadi badai pasir, kelopak seperti ini sangat membantu agar mata kita menutup rapat sehingga tidak mudah kemasukan debu atau pasir.”
“Tetapi, Ayah, kenapa kita tinggal di kebun binatang?”

Tampaknya tim cukup paham dengan cerita yang saya sampaikan. Pak Bos menegakkan kepalanya, matanya terlihat bersemangat. Ia pun menegaskan pada tim bahwa segala sumber daya, system, dan teknologi yang dibutuhkan sudah tersedia. Dengan bekal itu semua, tidaklah patut meragukan diri untuk melangkah pada situasi baru, karena bekal yang sudah ada itu memang disediakan untuk menghadapi tantangan yang dihadapi tim saat itu.

Suasana tim kembali bergairah. Agenda demi agenda dapat dilalui dengan tanpa pesimisme. Saya menikmati suasana itu hingga suatu ketika saya cukup terperanjat.

Beberapa pecan kemudian, seorang rekan mengatakan pada saya bahwa ia masih ingat dengan cerita unta yang saya kisahkan. Tentu saya senang ketika ia mengakui bahwa cerita itu menginspirasi baginya. Rasa senang itu seketika berubah, saat dia mengatakan bahwa ia sedang menyiapkan berkas lamaran ke perusahaan lain.

Senin, 28 Mei 2012

Catatan Penting

Jadi ada beberapa hal yang tidak penting yang sedikit mengusik pikiran saya yang kata banyak orang seperti selalu tak pernah serius. Adapun hal2 tersebut adalah:
- Banyak sekali orang yang berpendapat bahwa setiap orang bebas berpendapat. Tetapi kenapa ya, orang-orang yang berpendapat bahwa setiap orang bebas berpendapat tampaknya tidak membebaskan orang lain punya pendapat untuk memaksakan pendapat. Oh, bebaskanlah. Apakah saya salah memahami? Biarkanlah, toh bukankah ada yang berpendapat bahwa setiap orang bebas mempunyai pemahaman dan pandangan sendiri? Kalau ternyata pendapat saya ini salah, terima saja, saya juga terima akan konsekuensi atas kesalahan pendapat saya termasuk ketidaksukaanmu atas kesalahan saya, toh saya juga tidak suka kamu yang tidak suka saya.
- Bebas, oh bebas, tentu kita semua bebas mau melakukan apa saja di dunia ini. Mau jungkir balik, kayang, maupun jalan-jalan telanjang tak pakai baju. Dan tentu saja empunya dunia ini juga bebas memperlakukan dunia yang dimilikiNya termasuk memberikan tanggapan terhadap apa pun yang kita lakukan di dunia milikNya. Adilkah? Ah, saya mah terserah sama siapa yang menciptakan keadilan saja.
- Pidi Baiq, seorang ayah yang menurut saya dia yakin bahwa dia adalah ayah terkeren di dunia pernah menulis bahwa kalau bangsa kita ini adalah bangsa pembantu, maka jadilah pembantu yang profesional. Hal ini saya sampaikan pada ayah saya yang kekerenannya sebagai ayah akan saya lampaui nanti insyaAlloh (tolong tak perlu bilang saya narsis, cukup aminkan saja, siapa tahu yang akan punya ayah keren ini adalah nanti anakmu) dan ayah saya setuju bahwa meskipun maknanya baik, tapi akan banyak orang yang tak suka dengan pernyataan tersebut. Jadilah saya kemudian berpikir dan bertanya-tanya meski tak sampai saya tanyakan pada rumput yang bergoyang (maafkan aku, wahai Ebiet G. Ade). Oh, mengapakah mereka yang di sini sering latah kita sebut ekspatriat sedangkan saudara-saudara kita di seberang sana disebut TKI/ TKW?
- Teman kantor saya yang biasanya berambut gondrong, lebih gondrong dari rambut saya punya, tiba-tiba muncul dengan penampilan baru dimana rambutnya telah terpangkas pendek. Tak lama kemudian, dia menikah. Oh, ini saya sudah potong rambut yang kata banyak orang saya jadi tampak jauh lebih ganteng, apakah tak lama lagi akan menikah?
Jadi, apakah hal-hal di atas adalah sesuatu yang penting untuk diutarakan ketimbang diselatankan? Jika menurut Anda bukan hal penting, taklah mengapa karena memang saya suka menjadikan penting hal-hal yang tak penting bagi Anda. Kalaulah ada hal-hal lain yang menurut Anda penting, saya juga beranggapan itu hal yang penting, sedemikian pentingnya hingga saya dengan akal tak seberapa ini tak dapat membantu Anda memikirkannya. Lagi pula, belum tentu ada yang baca tulisan saya, hahaha.

Kamis, 03 Mei 2012

Ayah-Ibu VS Bokap-Nyokap

Dalam celotehan saya yang tidak begitu penting ini, saya akan menggunakan istilah "bokap" dan "nyokap" yang merujuk pada orang tua laki-laki dan orang tua wanita. Saya gunakan istilah tersebut bukan dengan niat agar tampak gaul, tetapi hanya usaha untuk meminimalisir kesulitan memahami tulisan saya yang memang tampaknya sulit dipahami ini. Saya yakin tidak ada seorang anak pun yang ketika di rumah berkata,"bokap, pinjam motor ya" atau "nyokap, aku minta uang dong buat beli buku".

Apa panggilan anda pada bokap dan nyokap? kalau saya memanggil bokap dan nyokap di rumah dengan panggilan ayah-ibu. 
Entah bercanda atau serius, nyokap saya dulu bilang bahwa awalnya mereka ingin dipanggil papi-mami. Hal itu tidak mungkin katanya, mereka tidak mau jika anak-anak mereka dikira memanggil bokapnya dengan nama panggilan (dikira-kira saja ya nama bokap saya siapa). Tidaklah sopan sapaan demikian di dalam budaya kita nusantara. Namun tetap saja sering terjadi kesalahpahaman di rumah soal sapaan tersebut. Kami di rumah terbiasa menjawab panggilan dengan "ya" atau "iya". jadi kalau nyokap memanggil kami -- anak-anaknya-- dari dapur, maka ketika kami menjawab panggilan nyokap tersebut, bokap juga akan menjawab. Kira-kira dialognya seperti ini:
Nyokap di dapur: "Ariiiip..."
Saya di kamar: "Ya...."
Bokap di ruang tengah: "Iya..."
Nyokap di dapur: "ambilin daun salam di kebon..."
Saya di kamar: "Iya...."
Bokap di ruang tengah: "Ayah di sini, kamu aja yang ke sini"

Dulu saya bertemu seorang ikhwan yang sedang menggendong anaknya. Teman saya menyapa sambil bertanya pada anaknya,"mana Ummi-nya?". Sang ikhwan menjawab,"Ga punya Ummi, adanya Ibu. Hehe, ayah-ibu saja". Sang ikhwan itu tak mau dipanggil Abi karena nama istrinya adalah Ummi (eh, atau Emi? atau Rahmi, atau? ya sudah, bukan nama sebenarnya). 

Jadi, kalau nanti menjadi orang tua, panggilan apa yang anda inginkan dari anak-anak anda?

Kalau saya saya sih tergantung ya, tergantung siapa nanti yang akan jadi nyokapnya anak-anak. Kalau nanti nyokapnya anak-anak bernama Emma, Irma, Rima, (bukan nama sebenarnya) saya tidak mau dipanggil "papa". Yang terpikirkan bebas dari misinterpretasi sampai saat ini adalah ayah. Bukan hanya karena saya suka dengan contoh dari orang tua saya, tetapi juga saya belum pernah menemukan nama wanita yang berakhiran "Bu". Eh, tetapi agak sulit juga dipanggil ayah, jika nanti nama ibunya anak-anak adalah Linda, Rida, atau Amanda, atau yang sejenisnya (tentu ini juga bukan nama sebenarnya). Saya yakin anda paham maksud saya.

Demikianlah, dulu saya beranggapan sebuah panggilan atau sapaan untuk orang tua itu selalu berpasangan: mama-papa, mami-papi, ayah-ibu atau ayah-bunda atau bapak-ibu. Ternyata tidak selalu berpasangan. Saya agak kaget ketika seorang teman saya memanggil ibunya dengan "mamah", sedangkan ayahnya dipanggil "ayah". Rasanya tak biasa. Begitu juga agak sedikit heran melihat paman saya dipanggil "babe" oleh anak-anaknya, tetapi anak-anaknya memanggil nyokap mereka "mama". ini mungkin saja karena Bibi saya itu tidak pede dipanggil "enyak" kali ya, hihihi.

Selain panggilan umum yang kita kenal ada juga panggilan yang unik di luar kebiasaan. Ada yang memanggil ayahnya "Bi", tanpa "a" di depannya. Awalnya kami kira maksudnya adalah "Abi". Ternyata anak-anak itu mengikuti kebiasaan nyokap mereka yang selalu memanggil suaminya dengan panggilan "Bang Di" (nama sebenarnya atau bukan, abaikan saja), yang didengar anak-anak hanya huruf depan dan huruf akhirnya saja. Ahahaha...

Baiklah, sekarang saya sudah dapat menerima bahwa tak selamanya panggilan khusus untuk bokap-nyokap harus selalu berpasangan sesuai kebiasaan. Yang masih berat saya terima adalah ketika mendengar atau membaca pasangan yang saling memanggil menggunakan sapaan yang biasanya khusus untuk bokap-nyokap, bukan dalam rangka untuk membiasakan anak-anak mereka menyapa demikian, karena jangankan punya anak, menikah saja belum.

Jadi, akan dipanggil apakah anda oleh anak-anak anda nanti? bagaimana kalau dipanggil "Bokap" dan "nyokap" saja? Hehehe7