Rabu, 18 Juli 2018

Hai, Apa Kabar, Blog?

"Sudah lama sekali saya tidak menulis dalam rangka bersenang-senang, apalagi dalam rangka mengisi blog ini. Ide untuk menulis sudah penuh dan sudah meluap menguap entah kemana. Sebagian besar unek-unek tersalurkan secara oral karena sudah ada yang mau tidak mau mendengarkan saya bicara semau saya:D."

Kutipan di atas adalah draft tulisan blog yang baru saja saya temukan di dashboard Blogger yang sudah lama tidak saya sentuh. Berdasarkan tanggal di draft tersebut, terakhir saya mengakses dashboard blog ini adalah 16.11.16. Sudah lama sekali, tapi tak mengapa toh tak ada juga yang bertanya-tanya kenapa saya lama tak mengisi blog ini. Justru saya lah yang saat ini bertanya-tanya, apakah benar kegiatan menulis blog sudah banyak ditinggalkan? Kalau memang sudah banyak ditinggalkan, baiklah akan saya temani. 

Ketimbang menulis blog, kenapa tak ikut-ikutan membuat vlog? Video blog, yang dimana Bapak Presidenmu yang terhormat pun ikutan membuat vlog. Ga ah, saya malu nanti wajah saya akan ketahuan seperti apa. Akan lebih malu lagi kalau sudah menampilkan wajah saya melalui vlog malah ga ada yang nonton. Udah jual tampang ga laku. Tidak. Lebih baik saya menulis blog lalu tidak ada yang baca. Malu juga sih, tapi ga akan semalu ya itulah. 

Ohya, saya membuat blog bukan karena ikut-ikutan lho. Saya anti ikut-ikutan. Saya membuat blog karena.... disuruh dosen, hahaha. Ketahuilah blog saya pertama ada di multiply yang sekarang sudah tiada terlindas roda kemajuan teknologi informasi dan media yang melintas begitu cepatnya. Naas, semua tulisan di multiply sempat saya migrasi ke blog ini. Iya, saya katakan naas, tidak salah ketik dan tidak salah makna. Ketahuilah, jejak digital lebih sulit dihapus ketimbang jejak kaki Simbah Neil Armstrong di bulan sana. Saya tak mau jelaskan kenapa jejak kaki Simbah Neil begitu kuat melekat tak terhapuskan padahal yang sebenarnya kuat bukanlah kakinya, tapi lengannya. Tolong jangan ajak saya berdebat mengenai bagian tubuh Simbah Neil manakah yang lebih kuat saat di bulan, kakinya atau tangannya. Saya khawatir akibat dari berdebat tentang ini hanyalah akan memunculkan kepercayaan baru bahwa bulan itu datar. Sungguh saya tak tertarik jika bulan ternyata datar, saya hanya akan antusias jika ada teori yang dapat menjelaskan bahwa bulan sebenarnya bisa ngomong. Karena kalau bulan bisa ngomong, tentu dia tak akan bohong.

Omong-omong soal bohong. Konon seseorang dapat diketahui bicara bohong atau jujur dengan menggunakan alat deteksi kebohongan yang di luar negeri biasa dikenal sebagai lie detector. Sayangnya, kebohongan yang menyebar di dunia maya mudah sekali dipercaya. Hoax, inilah istilah yang merujuk pada berita bohong yang tersebar. "Naikkan IQ, maka hoax akan turun." demikian kicau Bung Rocky Gerung. Kalau hemat saya sih,"Naikkan kejujuran, maka kebohongan akan menghilang."

Salah satu bentuk hoax yang sering di-share internet, media social, grup2 online, dsj, adalah info lowongan kerja. Info lowongan hoax yang ujung-ujungnya hanya menjadi modus penipuan. Mari kenali beberapa indikasi bahwa lowongan kerja hanyalah jebakan betmen agar kita tidak ikut menyebarkan hoax atau malah menjadi korban. Berikut beberapa indikasi hoax lowongan kerja:


1.      Rentang usia kualifikasi yang dibutuhkan lebar sekali, misalnya: usia 18 – 45 tahun.
2.     Kualifikasi pengalaman yang dibutuhkan hanya 1-2 tahun, padahal rentang usia lebar 18 – 45 tahun atau level jabatan cukup senior.
3.   Jumlah posisi yang ditawarkan biasanya banyak dan beberapa tidak sesuai dengan bisnis inti perusahaan. Misal, Posisi Tenaga Medis ditawarkan oleh Perusahaan Produsen Semen
4.     Menyebutkan rentang gaji dengan angka gamblang, biasanya jauh di atas standar UMR untuk level Pendidikan terendah. Misalnya, Gaji terendah disebutkan Rp7 juta sedangkan Kualifikasi Pendidikan minimal SMA.
5.     Alamat email palsu, biasanya ada tambahan huruf atau kata dari alamat email asli perusahaan yang dimaksud. Misalnya, @holcim.com diganti menjadi @pt-holcim.com
6.      Alamat web palsu seperti emailnya.


Apakah anda merasa sudah pernah membaca tulisan mengenai cara mengenali Lowongan Kerja Hoax seperti di atas? Mudah-mudahan karena anda mendapatinya di tulisan saya di instagram @rifzanninstitute. Dan mudah-mudahan saya akan menulis lagi walaupun tiada yang baca. Saat ini mungkin tidak, lain kali mungkin iya, ingatlah bahwa jejak digital itu seperti yang sudah saya jelaskan di atas dengan menyinggung-nyinggung Neil Armstrong.

Minggu, 17 November 2013

Kuliner Ala Korea di Jogja

Beberapa pekan lalu, teman saya mengajak makan di resto Korea. Wow, saya yang terbilang rada katrok ini langsung saja mengiyakan. Terus terang saya penasaran dengan seperti apa rupa makanan korea. Jadi pergi lah kami ke Michigo Korean Resto di jalan Colombo, Jogjakarta.
Kesan saya pertama begitu masuk adalah, yah saya benar-benar katrok, hihihi. Konsep interior dibuat mirip dengan suasana Korea. Saya tidak tahu pasti sejauh mana kemiripannya karena toh saya belum pernah lihat langsung seperti apa rupa resto di Korea. Ingat, saya ini katrok.
Michigo, The Awesome Korean Food

Hal yang menarik adalah konsep self service yang diterapkan dengan bantuan teknologi. Karena terbilang masih konsep baru, pramuniaga yang ada siap membantu pelanggan untuk menjelaskan penggunaan gadget dalam prosedur pemesanan. Untuk memesan pelanggan memilih menu dengan tablet. Setelah selesai memesan, maka pindah ke kasir untuk membayar, kemudian kasir akan memberikan sebuah video pager. Bukan diberikan gratis untuk dibawa pulang lho, tetapi video pager ini digunakan untuk memberitahukan kepada pelanggan bahwa pesanan sudah siap untuk diambil. Diambil? Yup, pesanan diambil sendiri oleh pelanggan di tempat pengambilan pesanan. 
Pesan Menu dengan tablet
Pesanan Anda akan diinfokan siap diambil melalui video pager
Bagi saya pribadi, konsep self service yang diterapkan ada lebih dan kurangnya. Saya suka dengan konsep pemesanan menu menggunakan tablet, tetapi kalau kelamaan bisa jadi membuat antrian panjang (kalau lagi rame pengunjung). Terus terang saya tidak terlalu suka mengambil pesanan sendiri, saya merasa repot harus bolak-balik tempat duduk. Michigo juga berusaha mendidik pelanggannya untuk mengembalikan sendiri nampan bekas makannya. Pelanggan diberikan 1 poin untuk tiap pengembalian 1 nampan, yang dapat ditukar menu gratis setelah terkumpul 10 poin. Lagi-lagi saya merasa malas untuk mengembalikan sendiri, meskipun diberi reward. Mungkin konsep self service dengan bantuan fasilitas gadget ini memang biasa di Korea sana. Sayang, yang saya lihat tablet untuk memesan menu bukan Samsung Tab, hehe

Nah, komentar tentang menu makanan jujur saya belum bisa berbicara banyak. Saya pesan bulgogi, tapi lidah katrok saya bilang rasanya mirip semur daging, hehe. Yang berkesan di lidah saya adalah nasinya. Buat saya rasa nasinya khas sekali.
Bagaimana penilaian Anda? Silakan coba sendiri ya...